Mendikbud: Sekolah Tidak Boleh Paksakan Vaksin Untuk Ikut PTM. Team Redaksi. 31 Januari 2022 31 Januari 2022. Sidrap, Pasalnya, mayoritas orang tua murid, khususnya didaerah ini merasa tidak bisa terima dengan adanya surat pernyataan yang disodorkan pihak sekolah yang salah satu poinnya dinilai sangat meresahkan. Surat pernyataan tersebut
Tag Surat Keterangan Ikut Vaksinasi. 15/01/2021 17:17 0 Dear Pak Jokowi, Gubernur Gorontalo Usul Surat Usai Divaksin Jadi Syarat Bepergian Cuma Butuh 3 Semester, Penyetaraan Guru SD/ PAUD Sarjana Tidak Linier; Deretan Film Box Office 2021 yang Tak Boleh Dilewatkan; Tegas, Hamim Minta Korban Penipuan Laporkan Oknum ASN Bone Bolango
TANJUNGPINANG Wali Kota Tanjungpinang Rahma angkat bicara mengenai adanya penolakan vaksin asi Covid-19 oleh sejumlah masyarakat. Menurutnya, penolakan Vaksin Covid-19 hanya dapat diberikan oleh pasien dengan alasan faktor kesehatan. Untuk itu, Ia meminta kepada warga Kota Tanjungpinang yang ingin menolak menjalani vaksin
VarianOmicron Belum Ditemukan di Riau Dinsos Riau Tak Punya Data Anak Yatim Piatu Terdampak Covid-19 Pansus Bisa Jadi Dasar Ketegasan Pemerintah Atasi Konflik Perusahaan Vs Masyarakat Riau Pekanbaru Juara Kejurda U14, Bukti Pembinaan Sepakbola Berjenjang Kelompok Usia Berjalan Baik Wali Murid Diberi Surat Pernyataan Vaksinasi Anak,
Mereka yang punya komorbid atau penyakit bawaan tak bisa langsung mendapatkan vaksinasi Covid-19.. Padahal, vaksinasi kini menjadi salah satu syarat untuk mengakses berbagai fasilitas publik maupun melakukan perjalanan. Di media sosial Twitter, ramai perbincangan dengan surat keterangan bagi orang dengan komorbid yang tidak bisa
Orangtuamenilai surat pernyataan yang diberikan di sekolah untuk vaksin anak terlalu memaksakan. "Itu surat pernyataan lucu. Itu namanya pemaksaan, itu sebelah pihak. Udah diminta anak untuk vaksin, kalau terjadi sesuatu atau ada resiko, ditanggung orangtua. Kan aneh," kata H, Wali murid salah satu murid, Senin (10/1/2022). Orang tua lainnya
PesertaSKD CPNS Belum Vaksinasi Bisa Tetap Ikut Tes, Ini Syaratnya! Siti Fatimah - detikFinance. Rabu, 25 Agu 2021 16:19 WIB. 0 komentar. Mohammad Ridwan menambahkan, surat keterangan dokter yang dimaksud bagi peserta yang tidak boleh menerima vaksin (ibu hamil, ibu menyusui, dan komorbid) harus bersumber dari dokter yang bekerja di bawah
5xx1c. JAKARTA – Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat PPKM Darurat Jawa - Bali dengan kewajiban pelaku perjalanan memiliki sertifikat vaksin minimal dosis pertama dikecualikan bagi penumpang dengan alasan medis dan pergerakan mobilitas di luar Jawa dan Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan terdapat pengecualian terhadap orang yang dinyatakan tidak dapat menerima vaksin dikarenakan alasan medis pada periode dilakukan perjalanan.“Memang terdapat pengecualian terhadap orang yang dinyatakan tidak dapat menerima vaksin dikarenakan alasan medis pada periode dilakukan perjalanan,” ujarnya melalui siaran pers, Senin 5/7/2021.VP Corporate Secretary AP I Handy Heryudhitiawan menjelaskan bagi calon penumpang yang belum divaksin karena alasan medis berdasarkan keterangan dokter spesialis, dapat melakukan perjalanan udara dengan sejumlah syarat dokumen. Pertama, yakni surat keterangan dari dokter spesialis. Kedua, hasil tes negatif RT-PCR yang sampelnya diambil dalam kurun waktu maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan.“Jika hasil tes RT-PCR atau rapid test Antigen calon penumpang yang belum divaksin dengan alasan medis tersebut negatif tetapi menunjukkan gejala, maka calon penumpang tersebut tidak boleh melanjutkan perjalanan dan diwajibkan melakukan tes diagnostik RT-PCR serta isolasi mandiri selama waktu tunggu hasil pemeriksaan,” JugaPPKM Darurat Berlaku, Ini Kapasitas Penumpang Tiap Moda Transportasi Hindari Pemalsuan, Penumpang Pesawat Jakarta-Bali Harus Tunjukkan Sertifikat Digital Vaksin Selain itu, lanjut Adita, sertifikat vaksin tidak menjadi mandatori untuk syarat pergerakan mobilitas di luar Jawa dan Bali. Dengan demikian, lanjutnya, syarat perjalanan di luar Jawa dan Bali adalah menunjukkan dokumen negatif hasil RT PCR 2x24 jam atau tes antigen itu, penumpang diwajibkan mengisi e-Hac pada perjalanan udara, laut, dan PPKM Darurat tersebut, Kemenhub telah menerbitkan Surat Edaran Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri berdasarkan tiap moda transportasi. SE tersebut terdiri atas SE No. 43/2021 untuk Transportasi Darat, SE 2021 untuk Transportasi Laut, SE untuk Transportasi Udara, dan SE untuk kebijakan ini, dimulai pada Senin 5/7/2021 dengan tujuan untuk memberikan kesempatan bagi operator agar dapat substansi, paparnya, pokok dari keempat Surat Edaran SE tersebut adalah Pengaturan penyelenggaraan transportasi angkutan umum dan pribadi serta angkutan logistik di semua moda untuk memfasilitasi sektor esensial dan kritikal dengan pembatasan load factor, pembatasan jam operasional, penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat serta mengacu pada kriteria perjalanan yang ditetapkan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid mengenai Kriteria dan Persyaratan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri PPDN sebagaimana ditetapkan dalam SE Satuan Tugas Kemenhub sebagai penyelenggara transportasi fokus untuk mengatur sarana dan prasarana transportasi di tempat asal, selama perjalanan, dan daerah SE ini berlaku secara nasional dengan pengaturan per wilayah yaitu wilayah Jawa dan Bali yang telah diberlakukan PPKM Darurat serta wilayah di luar Jawa dan Bali. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Editor Amanda Kusumawardhani Konten Premium Nikmati Konten Premium Untuk Informasi Yang Lebih Dalam
Presiden Joko Widodo telah menyatakan bahwa untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity atas virus SARS-CoV-2 di Indonesia, sebanyak 67-70% penduduk harus mendapatkan vaksin COVID-19. Namun, pertanyaannya apakah semua warga bersedia divaksin? Karim 29, seorang karyawan swasta di kawasan Jakarta Selatan, mengaku kepada DW bahwa ia termasuk salah satu orang yang masih ragu untuk divaksin. Dua hal ia sebut menjadi alasannya. Pertama, berita miring tentang vaksin. “Contohnya setelah divaksin malah bertambah penyakit, bahkan ada yang dikabarkan setelah divaksin malah ada yang meninggal dunia”, ujarnya, pada Rabu 24/2. Sementara alasan kedua ia akui berhubungan dengan teori konspirasi. Baru-baru ini Indikator Politik Indonesia juga merilis hasil survei nasional bertajuk ''Tantangan dan Problem Vaksinasi COVID-19 di Indonesia''. Survei nasional yang dilakukan pada 1-3 Februari 2021 itu mengungkap masih banyak warga yang tidak bersedia divaksin. Melalui pertanyaan “apakah Ibu/Bapak bersedia melakukan vaksinasi COVID-19?” yang ditujukan kepada responden, ditemukan bahwa hanya 54,9% saja warga yang sangat bersedia atau cukup bersedia untuk divaksin. Sementara, sekitar 41% warga menyatakan kurang bersedia atau sangat tidak bersedia untuk divaksin. Alasan penolakan yang dikemukakan beragam. Yang paling banyak adalah mereka yang merasa vaksin tidak aman. Ada yang beralasan vaksin tidak efektif, dan ada pula yang merasa tidak membutuhkan vaksin karena memiliki badan yang sehat. Sanksi bagi mereka yang menolak vaksin Guna memuluskan program vaksinasi di tanah air yang oleh Presiden Joko Widodo ditargetkan rampung dalam setahun, tentu keengganan warga untuk divaksin menjadi tantangan berat. Salah satu cara pemerintah untuk mengatasinya adalah dengan memberlakukan sanksi bagi mereka yang terdaftar sebagai penerima vaksin namun menolak disuntik vaksin. Sanksi tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19. Secara lebih rinci, sanksi bagi mereka yang menolak vaksin tertuang dalam Pasal 13A ayat 4 dan Pasal 13B. Dalam Pasal 13A ayat 4 disebutkan bahwa orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID-19 yang tidak mengikuti vaksinasi dapat dikenakan sanksi administratif, berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, dan/atau denda. Namun bukan hanya itu saja, dalam Pasal 13B disebutkan pula bahwa selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A ayat 4, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID-19, yang tidak mengikuti vaksinasi dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang tentang wabah penyakit menular. Sanksi pidana tersebut diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang tertuang di Pasal 14 ayat 1. Disebutkan, bahwa bagi mereka yang dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah dapat diancam pidana penjara maksimal 1 tahun, dan/atau denda maksimal 1 juta rupiah. “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi” Kepada DW, Dr. Hasrul Buamona SH MH, seorang pakar hukum kesehatan sekaligus Direktur LPBH NU Kota Yogyakarta memaparkan pandangannya terkait sanksi-sanksi tersebut. Dr. Hasrul Buamona SH MH - Pakar Hukum KesehatanFoto privatHasrul mengatakan bahwa Perpres Nomor 14 Tahun 2021 yang memuat sanksi itu sebagai produk cacat’ karena tidak sesuai dengan kaidah peraturan perundang-undangan. Ia menjelaskan bahwa sejatinya hanya ada dua produk hukum yang bisa memuat sanksi, yakni Undang-Undang UU itu sendiri dan peraturan daerah perda. Namun, berbeda halnya jika Perpres tersebut merujuk pada sebuah UU ketika membicarakan sanksi, maka hal itu menurut Hasrul baru diperbolehkan. “Kalau dalam Perpres tersebut dia langsung mencantumkan bahwa ada sanksi administrasi yang tadi disebutkan maka itu tidak boleh, tapi kalau dalam Perpres tersebut dia menyebutkan bahwa akan dikenakan sanksi yang merujuk kepada pasal 14 UU Wabah atau UU Wabah, itu masih bisa dibolehkan,” jelas Hasrul saat diwawancara DW, Selasa 23/2. Namun, terlepas dari muatan sanksi yang tercantum dalam Perpres yang menurutnya keliru, Hasrul menggarisbawahi satu hal bahwa di dalam hukum, ada sebuah keadaan darurat yang memungkinkan pemerintah menjatuhkan sanksi pidana bagi warga yang menolak vaksin, meski dengan beberapa catatan penting. Pengecualian hukum tersebut menurutnya dibenarkan oleh satu adagium hukum, yaitu Salus populi suprema lex exto yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi’. “Bisa ada pengecualian terhadap konteks dimana masyarakat itu kan dia punya hak untuk memilih, dia punya privasi terhadap kesehatan dirinya. Tapi dalam keadaan hukum darurat itu bisa diperbolehkan,” jelas Hasrul. Tapi yang perlu dicatat adalah dalam normanya, sifat pidana dalam ketentuan ini tidak boleh bersifat represif, melainkan harus bersifat preventif, kata Hasrul. “Itu normanya dia bersifat pidana administratif. Jadi kalau dalam ketentuan pidana dia bersifat norma pidana administrasi, maka sifat penanganan pidananya itu dia bersifat upaya terakhir, atau ultimum remedium,” pungkas Hasrul seraya menambahkan bahwa jika sudah masuk di ranah ultimum remedium, maka “masyarakat harus diberikan kesadaran, pendidikan dan edukasi terlebih dahulu." Data kasus harian baru COVID-19 di beberapa negara Asia tiap satu juta penduduk, per 17 Februari 2021 Gencarkan komunikasi publik Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia MHKI, dr. Mahesa Pranadipa, juga kemukakan pandangannya. Ia menilai wajar pemerintah mengeluarkan sanksi mengingat grafik penambahan kasus COVID-19 di tanah air tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Meski begitu, beberapa poin dalam sanksi administratif yang dimuat dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tak luput dari kritiknya, terutama poin penghentian jaminan sosial atau bantuan sosial yang disebut bisa memicu polemik baru. “Jaminan sosial itu wajib, jaminan sosial itu kan ada dua, ada jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan. Bagi mereka-mereka yang tidak mampu justru akan menimbulkan masalah baru kalau tidak diberikan bantuan sosial,” kata Mahesa kepada DW, Selasa 23/2. Sementara terkait sanksi pidana yang dimuat dalam UU Wabah, Mahesa mengatakan bahwa akan lebih tepat jika sanksi tersebut diberikan kepada mereka yang secara terang-terangan menghasut orang lain untuk tidak menerima vaksin. “Apalagi kemudian hasutannya itu berisi informasi-informasi hoaks maka selain UU wabah bisa dikenakan pasal-pasal terkait dengan hoaks, itu menurut saya lebih tepat,” jelasnya. Terlepas dari itu semua, Mahesa menekankan bahwa vaksinasi hanyalah salah satu cara untuk menekan penularan COVID-19. Selain dibutuhkan kedisiplinan masyarakat, upaya ini menurutnya harus diimbangi dengan pengawasan dan juga edukasi publik oleh pemerintah. “Jadi jangan kita hanya fokus kepada sanksinya saja tapi harusnya lebih digencarkan komunikasi publiknya, karena pertanyaan mendasarnya kenapa publik menolak itu saja,” kata Mahesa. Ini pulalah yang menjadi harapan Karim. Ia merasa perlu diperjelas apakah vaksin benar-benar aman atau tidak? Atau bayar atau tidak? Dikatakannya “Kalau memang udah benar aman ya orang mungkin akan oke oke saja tapi ini relatif." gtp/pkp
surat pernyataan tidak ikut vaksin